Selasa, 11 Oktober 2016

PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA DI RUMAH SAKIT

PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA DI RUMAH SAKIT
(Materi 5 Pelatihan Wajib Bagi Karyawan Rumah Sakit tahun 2016)

RUWANTO,S.ST
Unit Kesehatan dan Keselamatan Kerja RSUP dr Sardjito – Yogyakarta

Latar Belakang
Dengan meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat, tuntutan pengelolaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di rumah sakit semakin tinggi. Tenaga kerja di rumah sakit, pasien, pengunjung, pengantar pasien, peserta didik dan masyarakat disekitar rumah sakit ingin mendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja, baik karena dampak kegiatan pemberian pelayanan maupun karena kondisi sarana dan prasarana di rumah sakit yang tidak standar.
Agar dapat tercipta sistem manajemen K3 yang baik, dibutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi yang baik pula terutama untuk mendeteksi dan menangani risiko bahaya yang ada di lingkungan rumah sakit. Untuk dapat mencapai hal tersebut karyawan rumah sakit harus mengetahui jenis-jenis resiko bahaya di rumah sakit dan cara pengendaliannya, sehingga rumah sakit yang aman bagi tenaga kerja, pasien, pengunjung, pengantar pasien, peserta didik dan masyarakat di sekitar rumah sakit dapat terwujud.

Tujuan
1.    Peserta pelatihan mampu mengenal resiko bahaya yang ada di rumah sakit.
2.   Peserta pelatihan mampu mengidentifikasi resiko bahaya yang ada di satuan kerja masing-masing.
3.  Peserta pelatihan mampu mengenal sistem pengendalian resiko bahaya yang sudah dilakukan di rumah sakit khususnya di satuan kerja masing-masing.
4.   Peserta pelatihan mampu mengikuti prosedur pengendalian resiko bahaya dan menerapkan kepada pengunjung, keluarga pasien dan peserta didik yang ada di lingkungan rumah sakit.
Metode
Pelatihan ini menggunakan metode: ceramah dan tanya jawab.

Materi Pelatihan
1.       PENDAHULUAN
Resiko bahaya di rumah sakit yang disebabkan oleh faktor biologi, fisik, kimia, fisiologi/ergonomi dan psikologi dapat menyebabkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja bagi pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat disekitar lingkungan rumah sakit. Pekerja rumah sakit memiliki resiko kerja yang lebih tinggi dibanding pekerja industri lain sehingga resiko bahaya tersebut harus dikendalikan.
Salah satu upaya pengendalian adalah dengan melakukan sosialisasi kepada seluruh pekerja rumah sakit tentang resiko bahaya tersebut sehingga seluruh pekerja mampu mengenal resiko bahaya tersebut. Dengan mengenal resiko bahaya diharapkan pekerja mampu mengidentifikasi resiko bahaya yang ada disatuan kerjanya dan mengetahui upaya pengendalian resiko bahaya yang sudah dilakukan oleh rumah sakit sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pekerja terhadap sistem pengendalian resiko bahaya yang sudah dilakukan.

2.       RESIKO BAHAYA DI RUMAH SAKIT.
Resiko bahaya di rumah sakit tidak semuanya akan nampak kalau kita tidak dapat mengenalinya, terutama resiko bahaya biologi, karena keberadaan micro organisme patogen tidaklah nampak seperti resiko bahaya fisik atau kimia. Akan tetapi dampak dari resiko bahaya biologi di rumah sakit jika tidak dikendalikan, maka dapat berdampak serius baik terhadap kesehatan maupun terhadap keselamatan pekerja dan pengunjung serta masyarakat disekitar rumah sakit.
Secara umum resiko bahaya di rumah sakit dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok sebagai berikut;
a.       Resiko Bahaya Fisik
Resiko bahaya fisik dikelompokkan lagi dalam 7 resiko bahaya fisik antara lain:
1)      Resiko bahaya mekanik
Resiko bahaya ini dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:
a)       Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan resiko bahaya tertusuk, terpotong, tergores, dan lain-lain. Resiko bahaya ini termasuk salah satu yang paling sering menimbulkan kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum suntik / jarum jahit bekas pasien. Resiko bahaya ini sebenarnya bukan hanya resiko bahaya fisik karena dimungkinkan jarum bekas yang menusuk tersebut terkontaminasi dengan kuman dari pasien. Mengingat bahaya akibat tertular penyakit tersebut cukup besar, maka harus ada prosedur tindak lanjut paska tertusuk jarum yang akan dibahas dibagian lain dalam pelatihan ini.
b)      Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Seperti kita ketahui di rumah sakit banyak digunakan kereta dorong untuk mengangkut pasien dan barang-barang logistik. Resiko yang dapat muncul adalah pasien jatuh dari brankart/ tempat tidur, terjepit / tertabrak kereta dorong, dan lain-lain.
c)       Resiko terjepit, tertimbun dan tenggelam. Resiko ini dapat terjadi dimana saja meskiput kejadiannya tidak terlalu sering. Hal-hal yang perlu diperhatikan terutama di ruang perawatan anak dan ruang perawatan jiwa. Pastikan tidak ada pintu, jendela atau fasilitas lain yang memiliki resiko untuk terjepit/tenggelam tersebut.
d)      Resiko jatuh dari ketinggian yang sama; terpeleset, tersandung, dan lain-lain. Resiko ini terutama pada lantai-lantai yang miring baik di koridor, ramp atau batas lantai dengan halaman. Pastikan area yang beresiko licin sudah ditandai dan jika perlu pasanglah handriil atau pemasangan alat lantai anti licin serta rambu peringatan “awas licin”.
e)      Jatuh dari ketinggian berbeda. Resiko ini pada ruang perawatan anak dan jiwa. Selain itu perlu diperhatikan pada pekerjaan konstruksi bangunan atau pembersihan kaca pada posisi yang cukup tinggi. Jika pekerjaan dilakukan pada ketinggian lebih dari 2 meter sebaiknya pekerja tersebut menggunakan abuk keselamatan. Pada ruang perawatan anak dan jiwa yang terletak di lantai atas pastikan jendela yang ada sudah terpasang teralis pengaman dan anak-anak selalu dalam pengawasan orang dewasa saat bermain.
2)      Resiko bahaya radiasi
Resiko bahaya radiasi dapat dibedakan menjadi:
a)     Bahaya radiasi pengion adalah radiasi elektromagnetik atau partikel yang mampu menghasilkan ion langsung atau tidak langsung. Contoh di rumah sakit: di unit radiodiagnostik, radiotherapi dan kedokteran nuklir.
b)      Bahaya radiasi non pengion adalah Radiasi elektromagnetik dengan energi yang tidak cukup untuk ionisasi, misal radiasi infra merah atau radiasi gelombang mikro.
Pengendalian resiko bahaya radiasi dilakukan untuk pekerja radiasi, peserta didik, pengunjung dan pasien hamil. Pekerja radiasi harus sudah mendapatkan informasi tentang resiko bahaya radiasi dan cara pengendaliannya. Selain APD yang baik, monitoring tingkat paparan radiasi dan kepatuhan petugas dalam pengendalian bahaya radiasi merupakan hal yang penting. Sebagai indikator tingkat paparan, semua pekerja radiasi harus memakai personal dosimetri untuk mengukur tingkat paparan radiasi yang sudah diterima sehingga dapat dipantau dan tingkat paparan tidak boleh melebihi ambang batas yang diijinkan. Untuk pengunjung dan pasien hamil hendaknya setiap ruang pemerikasaan atau therapy radiasi terpasang rambu peringatan “Awas bahaya radiasi, bila hamil harus melapor kepada petugas”.
3)      Resiko bahaya akibat kebisingan adalah kebisingan akibat alat kerja atau lingkungan kerja yang melebihi ambang batas tertentu. Resiko ini mungkin berada di ruang boiler, generator listrik, dan peralatan yang menggunakan alat-alat cukup besar dimana tingkat kebisingannya tidak dipantau dan dikendalikan. Berdasar peraturan menteri kesehatan RI no 1204 tahun 2004 tentang pengendalian lingkungan fisik di rumah sakit, seluruh area pelayanan pasien harus dipantau dan dikendalikan tingkat kebisingannya minimal 3 bulan sekali.
Di rumah sakit pemantauan ini sudah dilakukan oleh ISLRS dan hasil temuan yang tidak memenuhi persyaratan di analisa dan dikendalikan bersama IPSRS dan Unit K3 serta dilaporkan kepada Manajemen rumah sakit.
4)      Resiko bahaya akibat pencahayaan adalah pencahayaan pada lingkungan kerja yang kurang atau berlebih. Tingkat pencahayaan diseluruh area rumah sakit juga telah dipantau dan dilaporkan seperti resiko bahaya kebisingan tersebut. Hal yang harus diperhatikan adalah jika terjadi kerusakan lampu, pastikan lampu pengganti setara tingkat pencahayaannya dengan lampu sebelumnya, sehingga tidak terjadi perubahan dalam tingkat pencahayaan pada area tersebut.
5)      Resiko bahaya listrik adalah bahaya dari konsleting listrik dan kesetrum arus listrik. Pengendalian yang telah dilakukan adalah melakukan preventif maintenance seluruh peralatan elektrik yang dilakukan oleh IPSRS. Kalibrasi peralatan medis dan penggantian peralatan yang telah out off date. Untuk mencegah bahaya kebakaran akibat peralatan listrik yang dibawa peserta didik dan keluarga pasien dilakukan sosialisasi kepada seluruh peserta didik pada saat orientasi dan untuk keluarga pasien informasi diberikan pada saat pasien masuk rumah sakit khususnya pasien rawat inap.
6)   Resiko bahaya akibat iklim kerja adalah berupa suhu ruangan dan tingkat kelembaban. Jika suhu dan kelembaban di rumah sakit tidak dikendalikan dapat mempengaruhi lingkungan kerja dan kualitas hasil kerja. Pemantauan secara berkala telah dilakukan oleh ISLRS dan jika ditemukan kondisi tidak memenuhi peresyaratan akan dilakukan pengendalian oleh IPSRS, PPI, Unit K3RS dan ISLRS yang dipimpin oleh Direktur Umum dan Operasional.
7)      Resiko bahaya akibat getaran adalah resiko yang tidak banyak ditemukan di rumah sakit tetapi mungkin masih ada terutama pada kedokteran gigi yang menggunakan bor dengan motor listrik dan pada bagian housekeeping / rumah tangga yang menggunakan mesin pemotong rumput (bagian taman).

b.      Resiko Bahaya Biologi
1)      Resiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial). Resiko ini di rumah sakit sudah dikendalikan oleh bagian Petugas Pemantau Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) berkoordinasi dengan Unit K3, Instalasi Sanitasi Lingkungan RS (ISLRS) dan Satuan kerja pemberi pelayanan langsung kepada pasien.
2)      Resiko dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain). Resiko ini dikendalikan oleh ISLRS dan harus didukung dengan housekeeping yang baik dari seluruh karyawan dan penghuni rumah sakit.
c.       Resiko Bahaya Kimia
Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang meliputi:
1)      Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel lantai, desinfeksi peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan lain-lain.
2)      Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan mencuci permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan lain-lain.
3)      Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan peralatan lainnya.
4)      Reagen yaitu  zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.
5)      Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan pasien.
6)      Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen, nitrit oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.
Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan seluruh satuan kerja. Hal-hal yang perludiperhatikan adalah pengadaan B3, penyimpanan, pelabelan, pengemasan ulang /repacking, pemanfaatan dan pembuangan limbahnya.
Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Penyedia B3 wajib menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet / MSDS), petugas yang mengelola harus sudah mendapatkan pelatihan pengelolaan B3, serta mempunyai prosedur penanganan tumpahan B3.
             Penyimpanan B3 harus terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan diatas palet atau didalam lemari B3, memiliki daftar B3 yang disimpan, tersedia MSDS, safety shower, APD sesuai resiko bahaya dan Spill Kit untuk menangani tumpahan B3 serta tersedia prosedur penanganan Kecelakaan Kerja akibat B3.
             Pelabelan dan pengemasan ulang harus dilakukan oleh satruan kerja yang kompeten untuk memjamin kualitas B3 dan keakuratan serta standar pelabelan. Dilarang melakukan pelabelan tanpa kewenangan yang diberikan oleh pimpinan rumah sakit.
             Pemanfaatan B3 oleh satuan kerja harus dipantau kadar paparan ke lingkungan serta kondisi kesehatan pekerja. Pekerja pengelola B3 harus memiliki pelatihan teknis pengelolaan B3, jika belum harus segera diusulkan sesuai prosedur yang berlaku.
Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor yang akan masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah B3 padat harus dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3 (TPS B3), untuk selanjutnya diserahkan ke pihak pengolah limbah B3.
d.       Resiko Bahaya Fisiologi / Ergonomi
Resiko ini terdapat pada hampir seluruh kegiatan di rumah sakit berupa kegiatan: angkat dan angkut, posisi duduk, ketidak sesuaian antara peralatan kerja dan ukuran fisik pekerja. Pengendalian dilakukan melalui sosialisasi secara berkala oleh Unit K3.
e.       Resiko Bahaya Psikologi
Resiko ini juga dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa ketidak harmonisan hubungan antar manusia didalam rumah sakit, baik sesama pekerja, pekerja dengan pelanggan, maupun pekerja dengan pimpinan.

3.       HIERARCHY PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA
Resiko-resiko bahaya tersebut semua dapat kita kendalikan melalui 5 hierarchy sebagai berikut;
a.       Eliminasi
Hirarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya dilakukan pada saat desain, tujuannya adalah untuk menghilangkan kemungkinan kesalahan manusia dalam menjalankan suatu sistem karena adanya kekurangan pada desain. Penghilangan bahaya merupakan metode yang paling efektif sehingga tidak hanya mengandalkan prilaku pekerja dalam menghindari resiko, namun demikian, penghapusan benar-benar terhadap bahaya tidak selalu praktis dan ekonomis.
Contohnya: resiko bahaya kimia akibat proses reuse hollow fiber HD dapat di eliminasi ketika hollow fiber tidak perlu reuse lagi atau single use.

b.       Substitusi
Metode pengendalian ini bertujuan untuk mengganti bahan, proses, operasi ataupun peralatan dari yang berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya. Dengan pengendalian ini menurunkan bahaya dan resiko minimal melalui disain sistem ataupun desain ulang. Beberapa contoh aplikasi substitusi misalnya: Sistem otomatisasi pada mesin untuk mengurangi interaksi mesin-mesin berbahaya dengan operator, menggunakan bahan pembersih kimia yang kurang berbahaya, mengurangi kecepatan, kekuatan serta arus listrik, mengganti bahan baku padat yang menimbulkan debu menjadi bahan yang cair atau basah.

c.       Rekayasa / Enginering.
Pengendalian ini dilakukan bertujuan untuk memisahkan bahaya dengan pekerja serta untuk mencegah terjadinya kesalahan manusia. Pengendalian ini terpasang dalam suatu unit sistem mesin atau peralatan.
Contoh-contoh implementasi metode ini misal adalah sistem tekanan negatif pada ruang perawatan air borne dissease, penggunaan laminar airflow, pemasangan shield /sekat Pb pada pesawat fluoroscopy (X-Ray), dan lain-lain.
d.       Administratif
Kontrol administratif ditujukan pengendalian dari sisi orang yang akan melakukan pekerjaan. Dengan dikendalikan metode kerja diharapkan orang akan mematuhi, memiliki kemampuan dan keahlian cukup untuk menyelesaikan pekerjaan secara aman. Jenis pengendalian ini antara lain seleksi karyawan, adanya standar operasional Prosedur (SOP), pelatihan, pengawasan, modifikasi perilaku, jadwal kerja, rotasi kerja, pemeliharaan, manajemen perubahan, jadwal istirahat, dan lain-lain.
e.       Alat pelindung diri (APD)
Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri merupakan merupakan hal yang paling tidak efektif dalam pengendalian bahaya. APD hanya dipergunakan oleh pekerja yang akan berhadapan langsung dengan resiko bahaya dengan memperhatikan jarak dan waktu kontak dengan resiko bahaya tersebut. Semakin jauh dengan resiko bahaya maka resiko yang didapat semakin kecil, begitu juga semakin singkat kontak dengan resiko bahaya resiko yang didapat juga semakin kecil.
Penggunaan beberapa APD kadang memiliki dampak negatif pada pekerja seperti kurang leluasa dalam bekerja, keterbatasan komunikasi dengan pekerja lain, alergi terhadap APD tertentu, dan lain-lain. Beberpa pekeerja yang kurang faham terhadap dampak resiko bahaya dari pekerjaan yang dilakukan kadang kepatuhan dalam penggunaan APD juga menjadi rendah. APD reuse memerlukan perawatan dan penyimpanan yang baik sehingga kualitas perlindungan dari APD tersebut tetap optimal.
Hierarchy pengendalian resiko bahaya tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

               Gambar 1. Hierarchy pengendalian resiko bahaya.

4.       PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA.
Setelah kita ketahui jenis-jenis resiko bahaya di rumah sakit, ternyata seluruh resiko bahaya tersebut terdapat di rumah sakit. Beberapa contoh sistem pengendalian resiko bahaya yang telah dilakukan di rumah sakit adalah sebagai berikut:
1.       Resiko bahaya fisik
a.     Mekanik : resiko yang paling sering terjadi adalah tertusuk jarum dan  terpeleset atau menabrak dinding / pintu kaca. Pengendalian yang sudah dilakukan antara lain: penggunaan safety box limbah tajam, kebijakan dilarang menutup kembali jarum bekas, pemasangan keramik anti licin pada koridor dan lantai yang miring, pemasangan rambu “awas licin”, pemasangan kaca film dan stiker pada dinding / pintu kaca agar lebih kelihatan, kebijakan penggunaan sabuk keselamatan pada pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian lebih dari 2 meter, dan lain-lain.
b.       Resiko bahaya radiasi: resiko ini terdapat di ruang radiologi, radio therapi, kedokteran nuklir, ruang cath lab  dan beberapa kamar operasi yang memiliki fluoroskopi / x-ray. Pengendalian yang sudah dilakukan antara lain: pemasangan rambu peringatan bahaya radiasi, pelatihan proteksi bahaya radiasi, penyediaan APD radiasi, pengecekan tingkat paparan radiasi secara berkala dan pemantauan paparan radiasi pada petugas radiasi dengan personal dosimetri pada patugas radiasi.
c.       Resiko bahaya kebisingan: terdapat pada ruang boiler, generator listrik  dan ruang chiller. Pengendalian yang telah dilakukan antara lain: substitusi peralatan dengan alat-alat baru dengan ambang kebisingan yang lebih rendah, penggunaan pelindung telinga dan pemantauan tingkat kebisingan secara berkala oleh Instalasi Sanitasi Lingkungan Rumah Sakit (ISLRS).
d.       Resiko bahaya pencahayaan: resiko bahaya ini terutama di satuan kerja dengan pekerjaan teliti  seperti di kamar operasi dan laboratorium. Pengendalian yang sudah dilakukan adalah pemantauan tingkat pencahayaan secara berkala oleh ISLRS dan hasil pemantauan dilaporkan ke Direktur, Teknik dan Unit K3 untuk tindak lanjut ruangan yang tingkat pencahayaannya tidak memenuhi persyaratan.
e.       Resiko bahaya listrik: resiko bahaya listrik terdiri dari konsleting dan kesetrum. Pengendalian yang telah dilakukan adalah adanya kebijakan penggunaan peralatan listrik harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan harus dipasang oleh bagian IPSRS atau orang yang kompeten. Peralatan elektronik di RSUP dr Sardjito secara berkala dilakukan maintenance oleh bagian IPSRS dan seluruh peralatan yang layak pakai akan diberikan label layak pakai berupa stiker warna hijau, sedangkan yang tidak layak pakai akan diberikan stiker merah dan peralatan tersebut ditarik oleh bagian IPSRS. Selain itu unit K3 dan IPSRS secara berkala melakukan sosialisasi ke seluruh satuan kerja tentang perilaku aman dalam menggunakan listrik di rumah sakit.
f.        Resiko bahaya akibat iklim kerja: resiko ini meliputi kondisi temperatur dan kelembaban ruang kerja. Pemantauan temperatur dan kelembaban dilakukan oleh ISLRS. Acuan dari standar temperatur dan kelembaban mengacu pada keputusan menteri kesehatan RI no 1402 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit.
Masalah yang sering muncul adalah temperatur  melebihi standar seperti di Instalasi Binatu dan ruang produksi gizi, karena belum memungkinkan untuk distandarkan pengendalian yang dilakukan dengan pemberian minum yang cukup. Masalah kelembaban yang tinggi beresiko terjadinya kolonisasi kuman patogen sehingga meningkatkan angka infeksi baik bagi pasien maupun bagi pekerja. Pengendalian secara teknis telah dilakukan akan tetapi pada musim tertentu kadang tidak memenuhi persyaratan. Upaya yang dilakukan untuk menghambat kolonisasi kuman terutama pada ruang perawatan pasien, ICU dan kamar operasi harus dilakukan desinfeksi ruangan lebih sering dan pemantauan angka kuman secara berkala.
g.       Resiko bahaya akibat getaran: resiko bahaya getaran tidak terlalu signifikan. Dari telaah yang telah dilakukan unit K3, resiko bahaya getaran ditemukan di bagian taman akibat dari mesin pemotong rumput dan di klinik gigi akibat dari mesin bor gigi, tetapi tingkat getaran pada ke 2 lokasi tersebut masih dalam batas yang diijinkan.
2.       Resiko bahaya biologi : resiko bahaya biologi yang paling banyak adalah akibat kuman patogen dari pasien yang ditularkan melalui darah dan cairan tubuh, dropet dan udara. Pengendalian resiko ini telah dilakukan oleh Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) akan tetapi termasuk dalam area pemantauan Unit K3. Resiko air borne dissease dikendalikan dengan rekayasa ruangan tekanan negatif beserta peraturan administratif dan APD. Resiko penularan melalui droplet dikendalikan dengan menyediakan masker bagi petugas, pengantar pasien dan pasien yang batuk, serta sosialisasi etika batuk oleh PPI. Resiko blood borne dissease dikendalikasn dengan penggunaan alat-alat single use beserta persturan administratif dan APD. Selain itu untuk mencegah pe nularan penyakit blood borne dissease khususnya Hepatitis B dilakukan Imunisasi Hepatitis B dengan perioritas pada karyawan dengan kadar titer anti HBs < 0,2 u/L terutama yang bekerja pada tindakan invasif terhadap pasien. Selain itu juga telah dilakukan penanganan paska pajanan infeksi khususnya pada HIV dan Hepatitis B. Bila pekerja atau peserta didik mengalami kecelakaan kerja berupa tertusuk jarum bekas pasien atau terkena percikan darah dan cairan tubuh pada mukosa (mata, mulut) atau terkena pada luka, maka wajib melaporkan kepada penanggung jawab ruangan pada saat itu dan setelah melakukan pertolongan pertama harus segera periksa ke IGD agar dilakukan telaah dan tindak lanjut paska pajanan sesuai prosedur untuk mengurangi resiko tertular.
3.       Resiko bahaya kimia: resiko ini terutama terhadap bahan kimia golongan berbahaya dan beracun (B3). Pengendalian yang telah dilakukan adalah dengan identifikasi bahan-bahan B3, pelabelan standar, penyimpanan standar, penyiapan MSDS, penyiapan P3K, APD dan safety shower serta pelatihan teknis bagi petugas pengelola B3. Rekayasa juga dilakukan dengan penggunaan Laminary Airflow pada pengelolaan obat dan B3 lainnya.
4.       Resiko bahaya ergonomi: resiko ini banyak terjadi pada pekerjaan angkat dan angkut baik pasien maupun barang. Sosialisasi cara mengangkat dan mengangkut yang benar selalu dilakukan. Selain itu dalam pemilihan sarana dan prasarana rumah sakit juga harus mempertimbangkan faktor ergonomi tersebut terutama peralatan yang dibeli dari negara lain yang secara fisik terdapat perbedaan ukuran badan.
5.       Resiko bahaya psikologi: resiko psikologi teidak terlalu kelihatan akan tetapi selalu ada meskipun kadarnya tidak terlalu mencolok. Upaya yang dilakukan antara lain dengan mengadakan pertemuan antar satuan kerja, antar staff dan pimpinan dan pada acara-acara bersama seperti saat ulang tahun RS dan lain-lain yang bertujuan agar terjalun komunikasi yang baik sehingga secara psikologi menjadi lebih akrab denganharapan resiko bahaya psikologi dapat ditekan seminimal mungkin.


Referensi
Departemen Kesehatan RI, Pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. – Jakarta : Departemen, Kesehatan RI. Cetakan kedua, 2008.
Keputuan Menteri Kesehatan RI no 1204 tahun 2004, tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
Keputusan Menteri Kesehatan Ri no 1087 tahun 2010 tentang Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit.
Undang-undang No 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.